Sabtu, 16 Mei 2009

BLOG BARU TENTANG CINTA

Alouw cuy....muv baru maen blog lg, o iya banyak tmn2 yg krm email, sms, atau lwt YM yg meminta agar blognya abaz neh di banyakin artikel2 tentang cinta. Nah, hari nih baz wujudin smua requesan tmn2 baz smua. sok atuh langsung aza klo klian pengen liat blog SEMUA TENTANG CINTA yg khusus tentang cinta boleh di lihat KLIK di SINI. Tapi klo klian pengen lihat blog yang khusus wat curhatan tmn2 klian jg ada kok tinggal KLIK di SINI. sok lah selamet menikmati, jgn lupa cemilanya yaw klo mu baca.... makasih atas kritik dan saranya

»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

SETELAH KAU MENJADI KEKASIHKU (BAG. 2)

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan. aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan
aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama tiga tahun persahabatanku dengan Dani, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?.................

Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Dani menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?

seminggu sudah aku berada di rumahku,hari minggu itu Dani datasng ke rumahku
"sudah sembuh,Layla?"tanyanya
"Ya"
"maafkan aku atas kejadian minggu lalu. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu.."
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah sepuluh.

"Tidak main futsal?" a menggeleng .

"Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan."

Aku tersenyum.

"Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu," ia mengangkat bahu dan tersenyum.

"Kau mau pergi memancing nanti sore?"

Ia menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Aku harus memberi ke sempatan ikan-ikan itu berkembang biak,. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah."

"Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya."

" Terima kasih untuk apa?"

Untuk menunjukkan sisi lain dari Dani yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku.
Tapi yang keluar dari mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu untukku hari ini."
Senyum Dani serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku.
"Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari
sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?"

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.

"Aku juga janji klalau kau kau datang kerumahku tidak akan sering nonton film komedi lagi," katanya kemudian.
"Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Layla Nanti air jerukmu asin."

"Selamat ulang tahun, Layla."

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. "Dani! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!"

"Memberimu selamat ulang tahun," jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.

"Ayo! Aku mau menunjukkan
hadiah ulang tahunmu dariku!"

Ia menyeretku ke meja kerjaku dan menyuruhku duduk di depan komputerku.dan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Dani untukku. PC? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Dani tidak cukup romantis untuk itu.

"Kau lihat?" Dani memotong renunganku.

"Apa?"

"Hadiahku."

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Dani
kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Dani dengan ekspresi tak
berdaya.

"Kau tidak menemukannya?" tanya Dani, dengan setitik kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

"Aku menambah memori komputermu," akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.

"Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat."

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku
kecewa.
"Oh ," hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."
"Kau boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan membentangkan kedua
tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari
lalu.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak
seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.

Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa. Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.


Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Dani. Dani mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan
itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu
dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Layla yang berusia tiga puluh tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tahun, yang tercabik di
antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi.

Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. "Ita," kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan
wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. "Kau datang."

"Halo, Set," sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris,
dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapapun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

"Terima kasih mawarnya," ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.

"Kau masih ingat."

"Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun," katanya tersenyum. "Kapan kau pulang?"

"Tadi pagi."

"Dengan anak istrimu?"

Seto tertawa kecil. "Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Layla."

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu," senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin
masih bisa meluluhkan hatiku. "Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu."

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap
dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu
pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang.

Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Seto pun suatu ketika akan melupakanku.

"Kau sendiri bagaimana, Layla?"

"Aku sekarang editor senior," jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi... cinta? Kesetiaan?
"Selamat!" ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. "Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu."

"Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua," ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan "ya "?
Sepuluh tahun bersama Seto, seperti apa? Ia menggeleng.
"Aku hanya memintamu memilih."

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, ?Kau sudah memiliki kekasih?"

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . "Siapa?" tanyanya lirih.

"Dani," jawabku kaku.
"DAni? Dani temanmu?"

"Sahabatku."

"Sahabat mu," desahnya. "Sudah berapa lama?"

Aku menggeleng. " satu tahun," bisikku.

Seto menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil
dari sakunya.

"Aku...," dibukanya kotak itu. "...Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Layla-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah memiliki kekasih atau sudah menikah. Tapi...." Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia.

Aku terkesima.

"Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya," tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

"Terima k asih," gumamku terpesona. "Cantik sekali."

"Kau suka?" Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Dani. " Kau....Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot...," suaraku keluar dengan susah payah.

"Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu," ia tertawa kecil.
"Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh
kilometer."

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Dani tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak . Seto masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Dani yang dulu kukenal lembut dan
peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri dihatiku.
Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri. Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya.
"Kalau saja kau bersamaku, Ta," katanya dengan mata berbinar.
"Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik...."

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. "Maaf," katanya sejenak kemudian.

"Aku harus kembali ke kantor," gumamku kaku.

"Baiklah. Mau kuantar?"
"Aku ada mobil."

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. "Layla, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku
jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop." Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.

SEto membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. "Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku," katanya. "Aku tidak punya banyak teman di sini."

"Aku pikir-pikir dulu," jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Seto.

Seto merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dibelakangnya ia menuliskan sederet nomor. "Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu."

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku
lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Seto membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Seto? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah memiliki kekasih dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pacaran dengan Dani hanya sebuah permainan yang bisa
kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau
aku menceritakan semua padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Dani lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, menjadi kekasih Dani seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Seto suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi?Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu.

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.

Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar kepala itu. "Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeribaru dekat kantorku."

"Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Layla."

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Seto, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa
menyenangkannya bercakap-cakap dengan Seto, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Dani. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Seto tiba-tiba bertanya.

"Kenapa kau berpacaran dengan Idan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Seingatku, ia bukan tipemu." Aku tertunduk.

"Kenapa, Layla?"

"Dani mencintaiku ," bisikku pelan.

"Apa kau mencintainya."

Kebisuanku mem berinya jawaban.

"Apa kau bahagia?" lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. "Ya."

"Jangan berbohong."

"Dani Kekasih yang baik."

"Tapi apa kau bahagia?"

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?

"Berapa lama kau Menjadi kekasih Dani?"

"Setahun."

"Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menjadi kekasihnya karena terpaksa? Karena usia dan...."

"Stop." Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri?

Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.

"Layla," tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa," bisikku, mencoba mengendalikan diri. "Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Dani."

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Dani. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menjadi kekasihnya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi kekasih simulasiku.

"Dani."

"Layla? Ada apa pagi-pagi begini?"

"Aku .... Kau tahu ..., " aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada kekasihku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada
lelaki lain? Dani tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat
curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah Kekasihku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Seto dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan. "Ya?" desak Dani.

"Aku.... Dani, kau kenal Indri, kan?"

"Sekretarismu? Tentu."

"Bekas pacarnya yang pilot itu kembali."

"Lalu?"

"Sekarang mereka sering bertemu. kekasih Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri."

"Tapi Indri sudah lama berpacaran dengan kekasihnya?"

"Ya. Tapi menurut si pilot ini, punya pacar atau punya suami bukan masalah. Mereka boleh memilih dengan siapa."

"Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?"

Aku menghela napas. "Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab."

"Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar," meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di
ujung sana, "Tunggu sebentar ! Ya, mulailah dulu. aku menyusul." Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

"Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku .," suara Dani kembali di telepon.

"Karena kau yang membuatkan kopi?"

"Kau!" ia tertawa, lalu segera kembali serius. "...Kupikir Indri dan mantan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri.
Ada pacarnya yang harus diperhitungkan."

"...Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi berpacaran dengan Pacarnya, apa itu harus dan bisa dipertahankan?"

"Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau
terus bersama, karena Indri dan mantan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau."

"Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan kekasihnya Ia tidak pernah mencintai kekasihnya yang sekarang ."

"Kalau begitu kenapa dulu ia menerima untuk menjadi kekasihnya ?"

"terpaksa."

"Astaga. Kasihan sekali."

"Jadi bagaimana?"

Dani diam sejenak. "Aku tidak tahu, Layla. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan mantan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia . Kalau ia meninggalkan kekasihnya yang sekarang, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya dipermukaan, tidak utuh, seperti kekasihnya." "Lantas aku mesti bilang apa?"

"Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar percintaan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi."

"Kau sama sekali tidak membantu," desahku.
"Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Layla. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi percintaan orang

"Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu."

"Itulah, Layla. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna."

Aku tertawa pahit. "Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu."

"Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!" ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sed ikit jauh dari telepon. "Iya, Pak, sebentar....."

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

Pilihan yang sulit: Dani atau Seto?

Kita tidak bisa bertemu lagi Seto," ujarku kepada Seto di telepon. Separuh
jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan. "Kenapa? Dani melarangmu?"

"Dia tidak tahu apa-apa."

"Kenapa kau terus memikirkan dia, Layla. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan waktumu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau
bisa mendapatkan semuanya?"

Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.

"Layla, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Dani, hidup kita
hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Layla, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ...."

"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.

"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruhmundur. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku."
"Aku tidak bisa ...."

"Kenapa tidak?"

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

"Kau tidak mencintai Dani, Layla. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan
untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menjadi kekasih perempuan yang mencintai lelaki lain."

"Aku .."

"Akuilah, Layla, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."


Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruhtubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku.

"Aku tidak mencintaimu," gumamku.

"Lebih keras lagi."

"Aku tidak mencintaimu."

"Kau berbohong."

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."

"Layla," suara Dani gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Dani akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Dani sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. .
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia.
Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Seto adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Dani. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Dani? Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Seto tidak bisa mengerti itu. "Aku ingin kau menerimaku
sebelum aku kembali ke Jerman, Layla. Dan aku hanya di
sini sepuluh bulan lagi."
"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi ... Entahlah."

"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"

"Aku ...." aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi, bicaralah dengan Dani."

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Dani malam itu juga.. Begitu aku tiba di rumahku, Dani sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

"Kenapa kau sudah ada disini?" tanyaku.

Dani menyilangkan telunjuknya di depan bibir
.

"Ada apa?"

"Sst!"

Dengan bangga dibukanya kotak yang berisi kalung indah dengan permata-permata kecil yang menghiasi kaling itu.

"Ini hadiah ulang tahun pertama pacaran kita," katanya.
Mataku beralih cepat dari kalung itu. Wajah Dani benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

"Aku ... aku tidak punya hadiah apa-apa," gumamku sambil kembali menatap kotak yang berisi kalung itu, menyembunyikan kalutku. "Aku lupa ...."

Dani tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.
Tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak
ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku menjadi kekasih Dani, simulasi. Kenapa Dani harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Dani menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan
padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

"Layla, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal," teguran Dani membuyarkan renunganku. "Ada apa?"

Kutatap matanya. "Dan, Seto pulang."

Dahinya berkerut. "Seto?"

"Mantan Pacarku yang pergi ke Jerman."

"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, waktu aku ulan g tahun."

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?" tanya Dani, seperti mendorongku bicara. Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera menyudahi simulasi pacaran ini."

"Oh."

Dani tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"
Aku mengangguk.

"Kau yakin akan bahagia dengannya?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut bahagia."

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun
kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.

Dani bertanya beberapa hal tentang Seto dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar
kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
"Dan?" tegurku.

"Ya?"

"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk menyudahi simulasi ini."

"Makasih ya Dan"

"Untuk apa?"

"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."

Dani tersenyum kecil. " Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit."

Dani tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.

"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku dan teman-teman merongrong soal siapa kekasihku. Dan aku melihat usulmu itu sebagai
jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk berpacaran, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."

"Apa yang kau dapat setelah setahun kita berpacaran?" tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhir nya. "Aku belajar bahwa aku tidak berpacaran dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan
yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam berpacaran, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama."

Aku ingin menambahkan bahwa berpacaran membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

"Kau memang selalu pintar bicara," Dani tersenyum.

"Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?"

"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."

Aku tertegun. "Apa maksudmu?"

Dani bangkit dan duduk mencangkung menatapku. "Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi
berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap waktu kau pulang kerja kau menemuiku dengan senyuman, aku merasa aku jadi manusia
paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku ter us, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."

Kutatap wajah Dani lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

" Aku masih belum mengerti," bisikku.

"Pacaran ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Layla. Ini adalah pacaran sesungguhnya untukku."

"Apa maksudmu kau mencintaiku ?" suaraku tercekik.

"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu," kata-kata Dani begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. "Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena bukumu telat aku kembalikan, empat tahun yang lalu, Dan aku tidak
pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini."

"Kau ... kau tidak pernah ...."

"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku
menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu."

"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."

Ia mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk kau cintai."

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Dani, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti
ini? Apa yang kau inginkan?" tanyaku datar.

Dani tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. "Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua
ini kepada mu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun." Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. "Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedarsahabatmu, tapi juga
kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan."

Ia menghela napas berat. "Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga."

Lama kami berdua saling berpandangan.

"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.

"Aku sudah bicara dengan Dani, Set. Tapi aku terpaksa menunda menyudahi simulasi pacaranku itu. saat ini."

"Berapa lama?"

"Ent ahlah."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, layla. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang
mestinya bisa kita lewati berdua."

"Aku tahu, Seto. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Dani sekarang. Dia membutuhkan aku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Layla. Dan pik irkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?"

Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Set, " bisikku.
"Apa maksudmu?" suara Seto terdengar kaget.

"Aku . Aku tidak akan bahagia kalau Dani menderita."

"Layla! Kau tidak . Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi kekasihnya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Set. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Dani membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini, Layla. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Layla, kau tidak mencintainya!"

"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung, Layla. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa, Seto."

"Lantas apa yang membuatmu berubah piki ran secepat ini?"

"Dani mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."

"Layla ...."

"Selamat tinggal, Set. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Layla."

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Dani berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini ," lanjutnya pelan. "Ini keputusan yang sangat konyol, Layla. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Aku mengangguk.

"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Layla."

Aku mengangguk.

"Kau akan menyesal."

Aku mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa ...."

Aku mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku."

Aku menggeleng.

Dani terbelalak. "Layla!" pekiknya tertahan.

"Dani!"


»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

Cinta Laki-laki Biasa

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alas an kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan ?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.

"Kenapa?"

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang mkamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

"Tapi kenapa?"

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup
hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"

"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"

"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. "

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu
memforsir diri.

"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.

"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan! "

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama,Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."

"Belum ada perubahan, Bu."

"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

"Dokter?"

"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat
menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

"Pendarahan hebat."

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

"Nania, bangun, Cinta?"

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"

"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"

"Nania beruntung!"

"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."

"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

Jumat, 15 Mei 2009

cerita pnuh hikmah

SI PENCURI KUE…???

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam.
Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba.
Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk.
Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka.

Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu.

Wanita itupun sempat berpikir Kalau aku bukan orang baik, sudah ku tonjok dia! Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga mengambil satu.

Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, Si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan yang separonya lagi.

Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir ‘Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih’.
Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si “Pencuri
tak tahu terima kasih!”.

Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Disitu ada kantong kuenya, di depan matanya.
Koq milikku ada di sini erangnya dengan patah hati, Jadi kue tadi adalah miliknya dan ia mencoba berbagi.

Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu.
Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri/subjektif serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.

Orang lainlah yang selalu salah,
orang lainlah yang patut disingkirkan,
orang lainlah yang tak tahu diri,
orang lainlah yang berdosa,
orang lainlah yang selalu bikin masalah,
orang lainlah yang pantas diberi pelajaran.

Padahal…..???
kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu malu.
Kita sering mempengaruhi, mengomentari, mencemooh pendapat, penilaian atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya





KAMU AKAN MEMANGGILNYA…”IBU”..!!

Suatu hari seorang bayi yang telah siap untuk dilahirkan didunia dia bertanya kepada Tuhan:
para malaikat disini mengatakan bahwa esok engkau akan mengirimku ke dunia,tetapi bagaimana caranya saya hidup ditempat semacam itu, saya begitu kecil dan lemah?

Dan Tuhan menjawab: aku telah memilih satu malaikat untukmu. Ia akan menjaga dan mengasihanimu.

Tapi disini saya, didalam surga apa yg pernah saya lakukan hanyalah tertawa ini sudah cukup bagi saya untuk berbahagia

Dan malaikatmu akan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kebahagiaan cintanya dan menjadi lebih berbahagia.

Dan bagaimana saya bisa mengerti saat orang-orang berbicara kepadaku jika saya tidak mengerti bahasa mereka?
malaikatmu akan berbicara kepadamu dengan bahasa yang paling indah yang pernah kamu dengar, dan dengan penuh kesabaran dan perhatian, dia akan mengajarkan bagaimana cara kamu berbicara

Dan apa yang harus saya lakukan, saat saya ingin berbicara kepada-Mu..?
malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.

Saya mendengar bahwa dibumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya..?
malikatmu akan melindungimu, walaupun hal tersebut mungkin dapat mengancam jiwanya.
tapi saya pasti akan sedih karena tidak melihat-Mu lagi.

Malaikatmu akan menceritakan padamu tentang aku dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepadaku, walaupun sesungguhnya aku akan selalu berada di sisimu.

Saat itu surga begitu tenangnya sehingga suara dari bumi dapat terdengar, dan sang anak bertanya pelahan, Tuhan, jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau memberitahuku nama malaikat tersebut..?

Kamu akan memanggilnya, IBU.





KISAH “SEEKOR BURUNG PIPIT”

Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kpanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya.

Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung.

Seketika itu si Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.
Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya-nya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.

Dari kisah ini, banyak pesan moral yang dapat dipakai sebagai pelajaran:

* Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita.
*
* Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu satunya ukuran.
*
* Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya.
*
* Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan.
*
* Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.






BELAJARLAH UNTUK BERKATA “CUKUP”.

Alkisah, seorang petani menemukan sebuah mata air ajaib.
Mata air itu bisa mengeluarkan kepingan uang emas yang tak terhingga banyaknya.
Mata air itu bisa membuat si petani menjadi kaya raya seberapapun yang diinginkannya, sebab kucuran uang emas itu baru akan berhenti bila si petani mengucapkan kata “cukup”.

Seketika si petani terperangah melihat kepingan uang emas berjatuhan di depan hidungnya. Diambilnya beberapa ember untuk menampung uang kaget itu.
Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubug mungilnya untuk disimpan di sana.
Kucuran uang terus mengalir sementara si petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya.

Masih kurang!
Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya.
Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalir hingga akhirnya petani itu mati tertimbun bersama ketamakannya karena dia tak pernah bisa berkata cukup.

Kata yang paling sulit diucapkan oleh manusia barangkali adalah kata “cukup”.
Kapankah kita bisa berkata cukup?
Hampir semua pegawai merasa gajinya belum bisa dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya.

Pengusaha hampir selalu merasa pendapatan perusahaannya masih di bawah target.
Istri mengeluh suaminya kurang perhatian.

Suami berpendapat istrinya kurang pengertian.
Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati.
Semua merasa kurang dan kurang.
Kapankah kita bisa berkata cukup?
Cukup bukanlah soal berapa jumlahnya.
Cukup adalah persoalan kepuasan hati.
Cukup hanya bisa diucapkan oleh orang yang bisa mensyukuri.
Tak perlu takut berkata cukup.

Mengucapkan kata cukup bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya.
“Cukup” jangan diartikan sebagai kondisi stagnasi, mandeg dan berpuas diri.
Mengucapkan kata cukup membuat kita melihat apa yang telah kita terima, bukan apa yang belum kita dapatkan.

Jangan biarkan kerakusan manusia membuat kita sulit berkata cukup.
Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan menjadi manusia yang berbahagia.
Belajarlah untuk berkata “Cukup”





HANYA SEKEPING KOIN PENYOK..!!!

Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan.

Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya
terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya.

“Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok,” gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.
“Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,” kata teller itu memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.

Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu.

Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah.

Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?”

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.
Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?




BELAJAR DARI “KELEDAI DI DALAM SUMUR”.

Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam, semetara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, Ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup karena berbahaya); jadi tidak berguna untuk menolong si keledai. Ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur, si petani melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.

Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan.
Ia mengguncang- guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara tetangga2 si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga menguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati teri sumur dan melarikan diri!

Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu, segala macam tanah dan kotoran.Cara untuk keluar dari ’sumur’ (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan menguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran, dan hati kita) dan melangkah naik dari ’sumur’ dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk
melangkah. Kita dapat keluar dari ’sumur’ yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah ! Guncangkanlah hal negatif yang menimpa dan melangkahlah naik !!! “
»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

Jumat, 24 April 2009

5 Bola Kehidupan


Bayangkan hidup sebagai suatu permainan ketangkasan dimana kita harus memainkan keseimbangan 5 buah bola yang dilempar ke udara. Bola-bola tersebut bernama : Pekerjaan, Keluarga, Kesehatan, Teman dan Spirit dan kita harus menjaga agar ke-5 bola ini seimbang di udara. Kita akan segera mengerti bahwa ternyata "Pekerjaan" hanyalah sebuah bola karet. Jika kita menjatuhkannya maka ia akan dapat memantul kembali. Tetapi empat bola lainnya yaitu Keluarga, Kesehatan, Teman dan Spirit terbuat dari gelas. Dan jika kita menjatuhkan salah satunya maka ia akan dapat terluka, tertandai, tergores, rusak atau bahkan hancur berkeping-keping. Dan ingatlah mereka tidak akan pernah kembali seperti aslinya. Kita harus memahaminya benar dan berusaha keras untuk menyeimbangkannya
Bagaimana caranya?
1. Jangan rusak nilai kita dengan membandingkannya dengan nilai orang lain. Perbedaan yang ada diciptakan untuk membuat masing-masing diri kita special.
2. Jangan menganggap remeh sesuatu yang dekat di hati kita, melekatlah padanya seakan-akan ia adalah bagian yang membuat kita hidup, dimana tanpanya, hidup menjadi kurang berarti
3. Jangan biarkan hidup kita terpuruk di 'masa lampau' atau dalam mimpi masa depan. Satu hari hidup pada suatu waktu berarti hidup untuk seluruh waktu hidupmu.
4. Jangan menyerah ketika masih ada sesuatu yang dapat kita berikan. Tidak ada yang benar-benar kalah sampai kita berhenti berusaha.
5. Janganlah takut mengakui bahwa diri kita tidaklah sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang merupakan sulaman benang rapuh untuk mengikat kita satu sama lain.
6. Jangan takut menghadapi resiko. Anggaplah resiko sebagai kesempatan kita untuk belajar bagaimana menjadi berani.
7. Jangan berusaha untuk mengunci cinta dalam hidupmu dengan berkata "tidak mungkin saya temukan". Cara tercepat untuk mendapatkan cinta adalah dengan memberinya, cara tercepat untuk kehilangan cinta adalah dengan menggenggamnya sekencang mungkin, dan cara terbaik untuk menjaga agar cinta tetap tumbuh adalah dengan memberinya 'sayap'.
8. Jangan lupa bahwa kebutuhan emosi terbesar dari seseorang adalah kebutuhan untuk merasa dihargai.
9. Jangan takut untuk belajar sesuatu. Ilmu pengetahuan adalah harta karun yang selalu dapat kita bawa kemanapun tanpa membebani.
Dan akhirnya :
MASA LALU adalah SEJARAH , MASA DEPAN merupakan MISTERI dan SAAT INI adalah KARUNIA. Itulah kenapa dalam bahasa Inggris SAAT INI disebut "The Present".
Free your heart from hatred 
Free your mind from worries.
Live simply. 
Give more.
Expect less
»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

BERCERMIN DIRI


Sahabatku,

Dalam keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.

Hanya saja, jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini. Yaitu diri kita sendiri.



Sahabatku,

Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahannam?"

Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?"

Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thayibah, 'laaillaahaillallaah', ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!"

"Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu?"



Sahabatku,

Tataplah diri kita dan tanyalah, "Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!"

"Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?"

"Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?"

"Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"



Sahabatku,

Ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini? Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu"

"Apakah engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah shalatmu, zikirmu, do’amu, ...ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"

Sungguh betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi!



Sahabat-sahabat sekalian,

Sesunguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.***
»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

Aku Dimakamkan Hari Ini


Perlahan, tubuhku ditutup tanah,
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah langkah terakhir mereka
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...

Istri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apatah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat,
rekan bisnis, atau orang-orang lain,
aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri, disini,
menunggu perhitungan ...

Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma'af pun tak bakal didengar,
aku benar-benar harus sendiri...

Tuhanku,
(entah dari mana kekuatan itu datang,
setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),
jika kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja...

Aku harus berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku.
yang selama ini telah aku sakiti hati nya
yang selama ini telah aku bohongi

Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang kukumpulkan dengan wajah gembira,
yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan, bahkan yang kutelan.
Aku harus tuntaskan janji janji palsu yg sering ku umbar dulu

Dan Tuhan,
beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta ,
teringat kata kata kasar dan keras yg menyakitkan hati mereka ,
maafkan aku ayah dan ibu ,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayang mu
beri juga aku waktu,
untuk berkumpul dengan istri dan anakku,
untuk sungguh sungguh beramal soleh ,
Aku sungguh ingin bersujud dihadap-Mu,
bersama mereka ...

begitu sesal diri ini
karena hari hari telah berlalu tanpa makna
penuh kesia sia an
kesenangan yg pernah kuraih dulu, tak ada artinya
sama sekali mengapa ku sia sia saja ,
waktu hidup yg hanya sekali itu
andai ku bisa putar ulang waktu itu ...

Aku dimakamkan hari ini,
dan semua menjadi tak terma'afkan,
dan semua menjadi terlambat,
dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan ...
»»  baCa SeLengKapnYa dAn JgN MaLu beri KOMENTAR

SEMUA TENTANG CINTA

HASIL TULISANYA KALIAN DA Di SINI (BLOGNYA KALIAN SMUA)

DaFtaR Tamu


ShoutMix chat widget
 

Copyright © 2009 by TempatnA Unek-unek Si Abaz