Sabtu, 16 Mei 2009

SETELAH KAU MENJADI KEKASIHKU (BAG. 2)

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan. aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan
aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama tiga tahun persahabatanku dengan Dani, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?.................

Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Dani menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?

seminggu sudah aku berada di rumahku,hari minggu itu Dani datasng ke rumahku
"sudah sembuh,Layla?"tanyanya
"Ya"
"maafkan aku atas kejadian minggu lalu. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu.."
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah sepuluh.

"Tidak main futsal?" a menggeleng .

"Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan."

Aku tersenyum.

"Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu," ia mengangkat bahu dan tersenyum.

"Kau mau pergi memancing nanti sore?"

Ia menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Aku harus memberi ke sempatan ikan-ikan itu berkembang biak,. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah."

"Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya."

" Terima kasih untuk apa?"

Untuk menunjukkan sisi lain dari Dani yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku.
Tapi yang keluar dari mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu untukku hari ini."
Senyum Dani serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku.
"Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari
sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?"

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.

"Aku juga janji klalau kau kau datang kerumahku tidak akan sering nonton film komedi lagi," katanya kemudian.
"Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Layla Nanti air jerukmu asin."

"Selamat ulang tahun, Layla."

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. "Dani! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!"

"Memberimu selamat ulang tahun," jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.

"Ayo! Aku mau menunjukkan
hadiah ulang tahunmu dariku!"

Ia menyeretku ke meja kerjaku dan menyuruhku duduk di depan komputerku.dan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Dani untukku. PC? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Dani tidak cukup romantis untuk itu.

"Kau lihat?" Dani memotong renunganku.

"Apa?"

"Hadiahku."

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Dani
kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Dani dengan ekspresi tak
berdaya.

"Kau tidak menemukannya?" tanya Dani, dengan setitik kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

"Aku menambah memori komputermu," akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.

"Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat."

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku
kecewa.
"Oh ," hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."
"Kau boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan membentangkan kedua
tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari
lalu.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak
seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.

Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa. Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.


Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Dani. Dani mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan
itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu
dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Layla yang berusia tiga puluh tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tahun, yang tercabik di
antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi.

Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. "Ita," kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan
wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. "Kau datang."

"Halo, Set," sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris,
dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapapun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

"Terima kasih mawarnya," ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.

"Kau masih ingat."

"Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun," katanya tersenyum. "Kapan kau pulang?"

"Tadi pagi."

"Dengan anak istrimu?"

Seto tertawa kecil. "Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Layla."

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu," senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin
masih bisa meluluhkan hatiku. "Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu."

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap
dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu
pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang.

Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Seto pun suatu ketika akan melupakanku.

"Kau sendiri bagaimana, Layla?"

"Aku sekarang editor senior," jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi... cinta? Kesetiaan?
"Selamat!" ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. "Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu."

"Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua," ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan "ya "?
Sepuluh tahun bersama Seto, seperti apa? Ia menggeleng.
"Aku hanya memintamu memilih."

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, ?Kau sudah memiliki kekasih?"

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . "Siapa?" tanyanya lirih.

"Dani," jawabku kaku.
"DAni? Dani temanmu?"

"Sahabatku."

"Sahabat mu," desahnya. "Sudah berapa lama?"

Aku menggeleng. " satu tahun," bisikku.

Seto menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil
dari sakunya.

"Aku...," dibukanya kotak itu. "...Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Layla-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah memiliki kekasih atau sudah menikah. Tapi...." Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia.

Aku terkesima.

"Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya," tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

"Terima k asih," gumamku terpesona. "Cantik sekali."

"Kau suka?" Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Dani. " Kau....Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot...," suaraku keluar dengan susah payah.

"Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu," ia tertawa kecil.
"Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh
kilometer."

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Dani tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak . Seto masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Dani yang dulu kukenal lembut dan
peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri dihatiku.
Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri. Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya.
"Kalau saja kau bersamaku, Ta," katanya dengan mata berbinar.
"Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik...."

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. "Maaf," katanya sejenak kemudian.

"Aku harus kembali ke kantor," gumamku kaku.

"Baiklah. Mau kuantar?"
"Aku ada mobil."

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. "Layla, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku
jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop." Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.

SEto membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. "Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku," katanya. "Aku tidak punya banyak teman di sini."

"Aku pikir-pikir dulu," jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Seto.

Seto merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dibelakangnya ia menuliskan sederet nomor. "Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu."

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku
lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Seto membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Seto? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah memiliki kekasih dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pacaran dengan Dani hanya sebuah permainan yang bisa
kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau
aku menceritakan semua padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Dani lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, menjadi kekasih Dani seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Seto suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi?Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu.

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.

Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar kepala itu. "Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeribaru dekat kantorku."

"Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Layla."

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Seto, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa
menyenangkannya bercakap-cakap dengan Seto, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Dani. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Seto tiba-tiba bertanya.

"Kenapa kau berpacaran dengan Idan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Seingatku, ia bukan tipemu." Aku tertunduk.

"Kenapa, Layla?"

"Dani mencintaiku ," bisikku pelan.

"Apa kau mencintainya."

Kebisuanku mem berinya jawaban.

"Apa kau bahagia?" lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. "Ya."

"Jangan berbohong."

"Dani Kekasih yang baik."

"Tapi apa kau bahagia?"

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?

"Berapa lama kau Menjadi kekasih Dani?"

"Setahun."

"Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menjadi kekasihnya karena terpaksa? Karena usia dan...."

"Stop." Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri?

Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.

"Layla," tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa," bisikku, mencoba mengendalikan diri. "Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Dani."

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Dani. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menjadi kekasihnya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi kekasih simulasiku.

"Dani."

"Layla? Ada apa pagi-pagi begini?"

"Aku .... Kau tahu ..., " aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada kekasihku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada
lelaki lain? Dani tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat
curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah Kekasihku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Seto dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan. "Ya?" desak Dani.

"Aku.... Dani, kau kenal Indri, kan?"

"Sekretarismu? Tentu."

"Bekas pacarnya yang pilot itu kembali."

"Lalu?"

"Sekarang mereka sering bertemu. kekasih Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri."

"Tapi Indri sudah lama berpacaran dengan kekasihnya?"

"Ya. Tapi menurut si pilot ini, punya pacar atau punya suami bukan masalah. Mereka boleh memilih dengan siapa."

"Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?"

Aku menghela napas. "Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab."

"Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar," meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di
ujung sana, "Tunggu sebentar ! Ya, mulailah dulu. aku menyusul." Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

"Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku .," suara Dani kembali di telepon.

"Karena kau yang membuatkan kopi?"

"Kau!" ia tertawa, lalu segera kembali serius. "...Kupikir Indri dan mantan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri.
Ada pacarnya yang harus diperhitungkan."

"...Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi berpacaran dengan Pacarnya, apa itu harus dan bisa dipertahankan?"

"Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau
terus bersama, karena Indri dan mantan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau."

"Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan kekasihnya Ia tidak pernah mencintai kekasihnya yang sekarang ."

"Kalau begitu kenapa dulu ia menerima untuk menjadi kekasihnya ?"

"terpaksa."

"Astaga. Kasihan sekali."

"Jadi bagaimana?"

Dani diam sejenak. "Aku tidak tahu, Layla. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan mantan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia . Kalau ia meninggalkan kekasihnya yang sekarang, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya dipermukaan, tidak utuh, seperti kekasihnya." "Lantas aku mesti bilang apa?"

"Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar percintaan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi."

"Kau sama sekali tidak membantu," desahku.
"Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Layla. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi percintaan orang

"Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu."

"Itulah, Layla. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna."

Aku tertawa pahit. "Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu."

"Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!" ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sed ikit jauh dari telepon. "Iya, Pak, sebentar....."

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

Pilihan yang sulit: Dani atau Seto?

Kita tidak bisa bertemu lagi Seto," ujarku kepada Seto di telepon. Separuh
jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan. "Kenapa? Dani melarangmu?"

"Dia tidak tahu apa-apa."

"Kenapa kau terus memikirkan dia, Layla. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan waktumu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau
bisa mendapatkan semuanya?"

Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.

"Layla, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Dani, hidup kita
hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Layla, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ...."

"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.

"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruhmundur. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku."
"Aku tidak bisa ...."

"Kenapa tidak?"

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

"Kau tidak mencintai Dani, Layla. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan
untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menjadi kekasih perempuan yang mencintai lelaki lain."

"Aku .."

"Akuilah, Layla, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."


Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruhtubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku.

"Aku tidak mencintaimu," gumamku.

"Lebih keras lagi."

"Aku tidak mencintaimu."

"Kau berbohong."

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."

"Layla," suara Dani gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Dani akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Dani sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. .
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia.
Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Seto adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Dani. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Dani? Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Seto tidak bisa mengerti itu. "Aku ingin kau menerimaku
sebelum aku kembali ke Jerman, Layla. Dan aku hanya di
sini sepuluh bulan lagi."
"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi ... Entahlah."

"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"

"Aku ...." aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi, bicaralah dengan Dani."

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Dani malam itu juga.. Begitu aku tiba di rumahku, Dani sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

"Kenapa kau sudah ada disini?" tanyaku.

Dani menyilangkan telunjuknya di depan bibir
.

"Ada apa?"

"Sst!"

Dengan bangga dibukanya kotak yang berisi kalung indah dengan permata-permata kecil yang menghiasi kaling itu.

"Ini hadiah ulang tahun pertama pacaran kita," katanya.
Mataku beralih cepat dari kalung itu. Wajah Dani benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

"Aku ... aku tidak punya hadiah apa-apa," gumamku sambil kembali menatap kotak yang berisi kalung itu, menyembunyikan kalutku. "Aku lupa ...."

Dani tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.
Tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak
ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku menjadi kekasih Dani, simulasi. Kenapa Dani harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Dani menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan
padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

"Layla, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal," teguran Dani membuyarkan renunganku. "Ada apa?"

Kutatap matanya. "Dan, Seto pulang."

Dahinya berkerut. "Seto?"

"Mantan Pacarku yang pergi ke Jerman."

"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, waktu aku ulan g tahun."

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. "Dia sudah menikah?" tanya Dani, seperti mendorongku bicara. Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera menyudahi simulasi pacaran ini."

"Oh."

Dani tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"
Aku mengangguk.

"Kau yakin akan bahagia dengannya?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut bahagia."

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun
kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.

Dani bertanya beberapa hal tentang Seto dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar
kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
"Dan?" tegurku.

"Ya?"

"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk menyudahi simulasi ini."

"Makasih ya Dan"

"Untuk apa?"

"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."

Dani tersenyum kecil. " Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit."

Dani tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.

"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku dan teman-teman merongrong soal siapa kekasihku. Dan aku melihat usulmu itu sebagai
jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk berpacaran, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."

"Apa yang kau dapat setelah setahun kita berpacaran?" tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhir nya. "Aku belajar bahwa aku tidak berpacaran dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan
yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam berpacaran, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama."

Aku ingin menambahkan bahwa berpacaran membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

"Kau memang selalu pintar bicara," Dani tersenyum.

"Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?"

"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."

Aku tertegun. "Apa maksudmu?"

Dani bangkit dan duduk mencangkung menatapku. "Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi
berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap waktu kau pulang kerja kau menemuiku dengan senyuman, aku merasa aku jadi manusia
paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku ter us, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."

Kutatap wajah Dani lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

" Aku masih belum mengerti," bisikku.

"Pacaran ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Layla. Ini adalah pacaran sesungguhnya untukku."

"Apa maksudmu kau mencintaiku ?" suaraku tercekik.

"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu," kata-kata Dani begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. "Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena bukumu telat aku kembalikan, empat tahun yang lalu, Dan aku tidak
pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini."

"Kau ... kau tidak pernah ...."

"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku
menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu."

"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."

Ia mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk kau cintai."

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Dani, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti
ini? Apa yang kau inginkan?" tanyaku datar.

Dani tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. "Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua
ini kepada mu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun." Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. "Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedarsahabatmu, tapi juga
kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan."

Ia menghela napas berat. "Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga."

Lama kami berdua saling berpandangan.

"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.

"Aku sudah bicara dengan Dani, Set. Tapi aku terpaksa menunda menyudahi simulasi pacaranku itu. saat ini."

"Berapa lama?"

"Ent ahlah."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, layla. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang
mestinya bisa kita lewati berdua."

"Aku tahu, Seto. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Dani sekarang. Dia membutuhkan aku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Layla. Dan pik irkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?"

Aku menghela napas panjang. "Entahlah, Set, " bisikku.
"Apa maksudmu?" suara Seto terdengar kaget.

"Aku . Aku tidak akan bahagia kalau Dani menderita."

"Layla! Kau tidak . Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi kekasihnya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Set. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Dani membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini, Layla. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Layla, kau tidak mencintainya!"

"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung, Layla. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa, Seto."

"Lantas apa yang membuatmu berubah piki ran secepat ini?"

"Dani mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."

"Layla ...."

"Selamat tinggal, Set. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Layla."

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Dani berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini ," lanjutnya pelan. "Ini keputusan yang sangat konyol, Layla. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Aku mengangguk.

"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Layla."

Aku mengangguk.

"Kau akan menyesal."

Aku mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa ...."

Aku mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku."

Aku menggeleng.

Dani terbelalak. "Layla!" pekiknya tertahan.

"Dani!"


Comments :

0 komentar to “SETELAH KAU MENJADI KEKASIHKU (BAG. 2)”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by TempatnA Unek-unek Si Abaz