Selasa, 21 April 2009

SETELAH KAU MENJADI KEKASIHKU (bag. 1)

SETELAH KAU MENJADI KEKASIHKU (bag. 1)

Ketidak percayaan Layla terhadap laki-laki untuk dijadikan kekasih pendamping hidupnya membuat Dani menantang untuk melakukan sebuah simulasi pacaran karena Dani ingin membuktikan yang ada di benak Layla itu salah, merekapun melakukan simulasi pacaran.

”Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus pacaran dan ujung ujungnya tidak menikah juga," gerutuku. Dani tertawa. "Teman-temanmu menanyakan siapa kekasihmu saat ini, terutama ibumu?"

Aku mengangguk cemberut.

"Apa jawabanmu kali ini?" godanya.

"Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar."

Dani terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.

"Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan orang yang mengenaliku malah makin gencar menteror."

Dani tersenyum . "Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi orang-orang itu, apa kau tidak akan blingsatan kalau kau belum juga memiliki kekasih di usia tiga puluh."

"Aku akan sangat gembira kalau aku tidak memiliki kekasih untuk ku jadikan suami seumur hidupku," komentarku.

Alis Dani terangkat. "Kenapa?"

"Laki-laki hanya memperumit hidup perempuan."

"Untuk apa pacaran kalau yang kita dapat hanya kesedihan?"

"Mungkin karena kesedihan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?"

"Sok tahu," cibirku. "Kau sendiri belum memiliki kekasaih. Apa yang kau tahu tentang keuntungan berpacaran."

"Aku sudah cukup banyak belajar, layla. Umurku sendiri sudah tigapuluh empat, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga."

"Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi pacaran apa lagi menikah?"

dani tersenyum. "Ya, memang."

"Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!"

"Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau pacaran atau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas."

Dan aku menghela nafas panjang. "Ah, ya. Calon."

"Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga berpacaran?"
"Ya, " gumamku enggan.
"Bukan karena kau sama sekali anti berpacaran."

Aku menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta."

"Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?"

"Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus," komentarku pahit. "Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi."
"Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran."

"Dani!" kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar sambil tertawa.

"Kau sadar kan kalau pacaran itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?" tanyanya kemudian, lebih serius.

"Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan pacaran dengan orang yang salah. Kalau saja," aku terdiam.

"Apa?"

"Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menjadi pacarku lalu menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata lelaki yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina, orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat."

"Layla, laki-laki yang begitu sedikit sekali."

Aku menggeleng. "Semua laki-laki binatang."

"Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki."
"Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat."

Dani sedikit kaget. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

"Dani!" pelan bicaraku. "Nanti orang-orang memperhatikan kita!"

"layla, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat," dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.

"Dani, Dani," desahku.
"Kalau kau memang mau berpacaran lalu menikah, berobatlah." Ia tergelak. "Dan kau. Kalau kau memang mau berpacaran lalu menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki."

"Aku tidak bisa, Dan."

"Berarti kau memang tidak bisa berpacaran. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan ----------?"

"Dani!" walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Meski baru tiga tahun menjadi sahabatku, tapi ia benar-benar telah memahamiku.

"Apa kau pernah berpikir tentang orang-orang yang mengenalimu?" katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik.
"teman-temanmu pasti sangat senang kalau kau punya kekasih tetap dan ibumu akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu."

"Jangan bicara begitu," cetusku, kembali manyun.
"Satu, ini hidupku, bukan hidup mereka yang mengenaliku. Tapi kalau misal saja kekasihku berkhianat, apa mereka mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu."

"Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah," Dani membungkuk dalam-dalam."Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan memiliki kekasih, apa yang ingin kau capai dengan itu?"


Aku tertunduk lemas. "Itulah, Dan," desahku. "Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi berpacaran atau menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alas an bagiku untuk berpacaran atau menikah."


Dani termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta mungkin?"
"Kau terlalu banyak menonton film romantis ," olokku. "Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu hubungan?"

"Berapa lama?"

"Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi."

"Imajinasi?"

"Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan berpacaran dengan Primus atau Anjasmara kau bisa jadi gila."

"Astaga," gumam Dani. "Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? dian sastro atau Sarah Azhari?"

"Gorila," jawabku sekenanya dan Dani meledak tertawa.

"Dani," keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus."

Wajahnya serta-merta menjadi serius. "Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk masalah ini. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau mereka menanyakan lagi siapa kekasihmu, tertawalah.Tertawalah keras-keras."

"Dani, kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku. "Aku perlu solusi, dan bukan ide-ide konyol."

Dani membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Akhirnya, Dani bicara dengan hati-hati. "Layla, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang kekasih yang kelak menjadi suami."

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Dani nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.

"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?"

Kutatap Dani dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku meskipun baru tiga tahun tetapi banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya tiga lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Dani yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara selera humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan hasil nyaris nol, hanya Dani orangnya."Ya. Aku percaya kepadamu."

"Kalau be gitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah."

"Dani! " potongku tandas. "Ide apa?"

"Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen," ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpan cang pada ekspresi wajahku. "Kita berhubungan seperti layaknya orang berpacaran."

"Apa?"

"Simulasi!" lanjut Dani sesegera mungkin. "Ya simulasi pacaran"


Dani mengangkat tangannya menyuruhku diam, "Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Aku akan menjadi kekasihmu –simulasi? sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia y ang normal dan waras begitu berambisi untuk berpacaran lalu menikah Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita akhiri simulasi itu dan kau bisa hidup sendiri lagi, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai kekasihku, kita putus dan kau bisa cari kekasih yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih berpacaran atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?"

"Dani," desisku. "Ini ide terbodoh y ang pernah kudengar."
"Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya," sanggah Dani mantap.
"Pikirkan, Layla. Ini satu-sat unya cara supaya kita bisa belajar seperti apa berpacaran itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki
sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian...."

"Serius, Dani, serius!"

"Dan kau sama sekali tidak melakukan pengor banan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun."

"Kecuali waktu mu ...."
"Simulasi," Dani mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

"OK. Pacaran simulasi," geramku.
"Simulasi."

"Dani!"

"Layla!"

"Oh, Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Dani segera menjejeriku.

"Layla, kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pu ra-pura berpacaran denganku?"

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. "Biarpunwajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu."

Matanya berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu problemserius.Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku."

"Justru karen aaku sangat peduli aku mengusulkan ini, layla," ekspresinya tampak begitu tulus.

"Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan."

"Pikirkan dirimu yang selalu diberendel pertanyaan-pertanyaan oleh orang-orang yang mengenalimu tentang kesendirianmu yang hingga kini tidak mempunyai kekasih , layla. Kalau meraka tahu kau berpacaran denganku, mereka yang selama mengenaliku sang at baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh...," ia berhenti saat melihat raut wajahku,
"mereka akan setuju dan aku yakin orang tuamu pun akan setuju."

Ia diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Dimana pun."

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Dani.

"Apa aku harus bermesraan?" tanyaku nyaris berbisik.

"Sesekali mungkin, kalau kita sedang ada di lingkungan yang mengenali kita," matanya kembali tertawa. "Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku...."

"Dani," teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Dani tersenyum.


Sebulan pertama Layla berusaha mengerti kebiasaan Dani yang selalu menghabiskan di selang waktunya bermain games di komputer Di minggu kelima dia protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.mereka banyak melakukan pertemuan di tempat tinggal dani

Dani bertanya sambil menggaruk kepala. "Bisakah kau menghubungiku tiap hari?" pintanya. "jika aku tidak menghubungimu"

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Dani akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang kekasih, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.

aku tersenyum dan beranjak dari kursi dan mengambil sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang ada di atas meja komputer tempat Dani menghabiskan waktu.


"Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati," lanjutnya.
"Misalnya, aku ingin kau sempatkan beri tahu aku jika kau pergi sendiri atau dengan siapa dan mesti pulang larut malam."

Dahiku berkerut. "Untuk apa?"

"Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pergi dengan siapa atau sendiri dan pulang hingga larut malam?" Aku menggeleng. "Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh."

"Tapi aku kekasihmu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang larut malam."

"Kau kedengaran seperti diktator."

"Kurasa aku tidak minta terlalu banyak."

"Itu terlalu banyak untukku."

dani meletakkan tulunjuk di bibirnya dan me natapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.

"Ingat," lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar kekasihmu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu."

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang tempat kami melakukan pertemuan itu menjadi sangat sunyi senyap. "Baik. Kalau itu maumu," desisnya kemudian.

Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Dani memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Dani akan semakin berang karenanya.

Dani meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke ruangan depan tepatnya ruangan yang menjadi tempat kumpul teman-temanya Tak lama ia kembali menemuiku di ruang komputer

"Aku pergi, layla," katanya dingin.

Aku bangkit dari kursi menghampirinya , berniat untuk memperbaiki situasi.
"Sebagian teman-temanku menyarankan ini," ujarku sambil meraih tangan kanan Dani dan menempelkannya di bibirku. "Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku."

Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Dasar tidak tahu terima kasih!

ke esokan harinya Aku sengaja pergi dan pulang larut malam. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Dani telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang kekasih, mestikuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Dani sebagai keksaihku. Bagiku, iahanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu
banyak.

Mataku tertaut pada cincin perak mungil yang disisipkan Dani di jari manisku saat aku menerima sebagai kekasihnya meski simulasi. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalampermainan ini, Dani adalah kekasihku Dan sebagai kekasihku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satupelajaran pertama dari permainan ini. Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Dani akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.

Alangkah terkejutnya aku ketika keesokan harinya sepulang kerja tepat pukul setengah delapan malam aku berkunjung kerumahnya dan mendapati rumah gelap dan kosong. ?

Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, kutelepon rumah orang tuanya. Aku bahkan mencoba mengontak teman-temanya, tanpa hasil. Dani tidak ada di mana-mana. Inikah balasannya atas penolakanku Kemarin? Kekanak-kanakan sekali!

dengan melarutnya malam, aku kembali pulang kerumahku dengan kecemasanku terhadap Dani. Apalagi hingga pagi ponsel Dani saat di hubungi tetap saja mailbox. bahkan sengaja sebelum berangkat kerja aku mampir kerumahnya Dani,namun tetap saja tak terlihat adanya Dani dan kutulis pesan di pintu rumahnya agar dia menghubungi ponselku saat dia membaca pesan yang kutulis di selembar kertas yamg ku tempelkan di pintu rumahnya. sepulang kerja dan tiba di rumahku Dani tetap tidak menelponku. Malam itu kulewatkan di sisi telepon. Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas dibenakku saat aku angkat

"Layla?"

"Dani?" jeritku. "Kau di mana?"

"Layla, aku minta maaf karena marah dan membiarkanmu begitu saja. ?"

"Dani, !" meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh dipipiku.

"Kau di rumahmu?"

"Di luar."

"Di luar rumah?"

"Ya. kunci rumahku hilang Dan saat ini aku lapar."

"Oh, Tuhan...."kututup telpon ku

Aku lari ke luar rumah dan kubawa makanan yang ia suka lalu pergi dengan taksi menuju rumah Dani dan sesampainya di rumah Dani kulihat Dani duduk di kursi terasnya. sambil menghisap sebatang rokoknya

"Kau keterlaluan! Aku menelpon orang tuamu dan dia bilang kalu kau tak ada,aku telpon teman-temanmu dan mereka tidak ada yang tahu dimana kau berada bahkan aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!" teriakku kepadanya.

"Aku juga rindu kepadamu!" balas Dani tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.

"Di mana saja kau selama ini?"

"Di hotel kecil dekat dari sini."sambil berusaha mencongkel pintu yang kuncinya hilang itu dan berhasil membukanya.. kami pun masuk dan duduk di meja makan sambil membuka makanan yang aku bawakan dan iapun lahap memakan makanan yang aku bawa, tidak lama aku lihat Ia baru saja menghabiskan piring ketiga soto ayam kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membawa semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap. "Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?" suaraku bergetar. "Aku perlu baju bersih," ia tertawa malu. "Laundri hotel mahal sekali."

Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung,
"Selain itu , aku mengkhawatirkan dirimu ." Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.

"Aku pulang ," ucapku perlahan. "besok Aku harus lembur. Dikejar deadline."

Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.

"Oke," katanya. "terima kasih kau sudah pedulikan aku"

hari-hari pun aku lewati dan setiap pertemuan Aku bisa mentolerir kebiasaan Dani membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton komedi yang paling tidak kuminati, dan sepak bola olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.

Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu siang ia berangkat sebelum pukul dua untuk bermain futsal dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengahlima, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara makan-makan, kebiasaan Dani itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main futsal atau menemaninya memancing, karena aku dengan sangat cepat akan merasa jemu.

Sebulan pertama aku berusaha mengerti .hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi dipekan kelima saat aku sengaja datang kerumahnya kesabaran ku tandas, dan minggu siang itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing. "Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini," pintaku.

"Kau kan bisa pergi sendiri," katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.

"Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke manapun."

"Aku tidak bisa mangkir futsal hari ini, Layla," ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. "Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat futsal baru."

"Kau bisa mencobanya minggu depan."

"hari ini aku terlanjur janji pada teman-temanku."


"Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi," gumamku.

"Pakai voucher dariku saja," sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat.
"Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi dupuluhlimaribu cukup?"

"Dani! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon."

"Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan duapuluhlimaribu."

"Oh, Tuhan!"

Daniberhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang.
"Layla, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi."

"Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh Cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan."

"Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan."

"Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman."

"Kalau begitu ajaklah teman-temanmu."

"Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan pacar-pacar mereka."

Dani mengerutkan keningnya. "Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?"

"Ya!"

"Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan futsal lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana."

"Dani!" jeritku. "Kau ini buta, atau tuli sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!"

Mata Dani menyipit. "Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal," desisnya.
"Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali."

"Mengalah!" suaranya meninggi. "Apa aku masih kurang mengalah selama ini?
Layla, kau sudah menyita enam hariku, apa kau tidak bisa memberiku...."

"Enam hari? Enam kurangi enam! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam setiap bertemu dan satu jam setiap makan malam!" "Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih membaca majalah

"Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang konyol dan bodoh yang menurutmu kocak apa lagi menyaksikan dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!"

"Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!"

"Kau kekanak-kanakan!"

"Dan kau, Tuan Putri, kau egois!"

Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakang. Seperti inikah perasaan para wanita setelah bertengkar dengan kekasihnya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Dani melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya.

Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku melakukan pacaran --simulasi-- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin,menemui Dani dan selalu memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku ? Tidak!


Meski sudah bersikap menyebalkan, layla tidak berhasil membuat Dani marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.

Wajah Dani benar-benar merah sekarang. "Layla! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi."

"Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi."

"Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar...."

"Dani!" jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.

Dani pergi ke kamarnya, membanting pintunya , Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan tanganku dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur di sofa Sorenya aku terbangun dan melihat keadaan rumah sepi. Dani pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan pulang ke rumahku. Saat itu Dani datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat ku akan pergi

"mau pulang? " tanyanya.

"ya ."

Ia masuk dan duduk di sofa mengawasi gerak-gerikku. "Semudah ini kau menyerah?"

"Ini diluar dugaanku."

"Apa?"

"Aku tidak mengira aku memacari monster."

Dani terdiam, menunduk.

"Aku...," katanya lirih. "Aku bawa pizza kesukaanmu."

"Aku sudah terlalu gemuk."
Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau cantik."
"Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan kekasihku, ingat? Penilaianmu tidak punya
arti apa-apa."

"Aku sudah mencoba jadi kekasihmu yang baik."

"Kau gagal."

"Setidaknya aku mencoba. Kau ... kau tidak melakukan apapun supaya pacarankita berhasil...."
"Simulasi."

Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. "Simulasi."

"Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan berpacaran dan menikah. Aku tidak suka pacaran lalu menikah. Apalagi denganmu."

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar , aku masih duduk. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Dani bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan keluar.

"Setidaknya tunggulah sampai hujan reda," suara Dani menyambutku.

"Terlalu lama," gumamku. "Aku tidak bisa disini denganmu selama ini."

Aku tak peduli hujan yang serta merta meng guyurku basah kuyup Saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Dani secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika aku mulai berjalan.

Saat itu aku melihat Dani menghampiriku Tanpa mengatakan apa-apa ia hanya memberikan jaket untuk menghangatkan badanku yang di basahi air hujan

"Ayo pulang," katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.

Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberi ku kesempatan untuk melarikan diri.

Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku. "Ganti bajumu," katanya.

"Ambil bajuku."

"Tidak akan pernah!"

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,"Ini bukan waktunya melawanku, Layla. Kau bisa sakit!"

"Monster," desisku.

malam itu suhu badanku meninggi hingga tak sadarkan diri Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun sadarkan diri ternyata aku sudah ada di kamarku dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku.

yang paling menyakitkanku adalah, Dani sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.

Sore itu ketika Dani datang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya. "Bagaimana, Bu?" tanyanya kepada ibuku yang sedang berada dikamarku , suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup
menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.

"Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu."

Tangan Dani berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil berjalan keluar.
.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapalama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya. Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Dani sore itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan. aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama tiga tahun persahabatanku dengan Dani, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?.......bersambung.....

Comments :

1
Anonim mengatakan...
on 

baz gw May nech...bagus ceritanya, sambungangan nya kpn neh...hehehe....

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by TempatnA Unek-unek Si Abaz